Pages

Rabu, 08 Februari 2012

Budaya Keparat : Kemiskinan dan Keterbelakangan Sasak




Banyak yang menuding, imperalisme berkepanjangan suku bangsa lain telah membuat bangsa sasak sampai hari ini mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Sebenarnya, tidak sepenuhnya benar. Kenyataan penjajahan yang begitu mudah dan lama bercokol itu sendiri menunjukkan bahwa bangsa Sasak memang telah mundur dan terbelakang dalam arti yang sebenarnya di banding kan dengan kaum/bangsa yang datang menjajah semenjak dulu, semenjak tonggak peradaban sasak ini mulai di bangun pada era sasak purba (sasak Lebung).
Tidak ada yang salah dengan bali, jawa atau belanda pada era imperialisme fisik dan politik dulu. Dan tidak juga salah orang yahudi maupun amerika di era imperialisme ekonomi dan politik sekarang ini. Berhentilah mencari kambing hitam atas kenyataan pahit yang di hadapi, dan bangsa sasak harus mulai belajar untuk mengambil resiko dan tanggung jawab sendiri. Dan jika kita mencermati sebuah buku laporan riset panjang Alfons Van Der Kraan seorang warga australia yang di beri judul Sasak : Kemiskinan Dan Keterbelakangan , di mana buku ini sudah dio alih terjemahkan oleh Sahabat saya H. Doni Supanra seorang tokoh philantrhopi di Pulau Lombok/konseptor sekaligus pernah menjabat sebagai Manajer Program di BAZISDA (Lembaga Badan Amil Zakat, Infaq, Shodakoh) Lombok Timur sangat. Dalam buku itu terang benderang menunjukkan praktek-praktek budaya feodalisme patriarkhal menjadi biang keladi utama terhadap terpuruknya peradaban etnis ini sampai detik ini, yaitu diantaranya KRISIS KEPEMIMPINAN.
Sejarah kelam Suku Sasak lombok tak pelak lagi, di kelamkan oleh prilaku para pemimpinnya. Dan dalam pernyataan lain, bahwa sasak tidak memiliki sejarah kepemimpinan yang mumpuni. Para pemimpin era Sasak purba dahulu justru berkonflik di antara sesama dan akhirnya lebih memilih untuk mengundang bangsa lain untuk datang membantu menyelesaikan konflik tersebut, meskipun dengan konsekuensi harus di jajah.
Jika saja, Sasak maju, tentu sejarah akan menulis hal yang berbeda, yaitu sasak menjadi bangsa penjajah yang menginvasi daerah lain. Namun kenyatan memang menunjukkan, bahwa bangsa yang terbelakang dan miskin seperti Sasak, tidak memiliki hasrat ekspansionis. Jadi masalah utama sebelum dan setelah masa penjajahan fisik, kenapa bangsa Sasak miskin dan terbelakang adalah karena masalah inheren bangsa sasak sendiri, yaitu budayanya sendiri.
Hampir seluruh tahapan penting sejarah sasak di warnai oleh konflik para pemimpin dan krisis kepemimpinan :
1. Konflik Kedatuan Pejanggik-Selaparang-Arya Banjar Getas. Yang berujung pada di undangnya dan masuknya imperialisme Kerajaan Karang Asem Bali atas Lombok oleh salah satu pemimpin lombok sendiri. Dan pada akhirnya, Kedatuan Pejanggik sebagai sekutu karang asem setelah 14 tahun penaklukan Selaparang, di hancurkan juga oleh Karang asem sampai ke akar-akarnya. `
2. Imperialisme Belanda masuk ke Pulau Lombok juga tidak lepas dari konflik elit. Di mulai dari konflik kerajaan yang menjadikan lombok sebagai halaman belakangnya/satelit , kerajaan hidnu gelgel Bali dan Kerajaan Islam-Gowa. Dan puncaknya yaitu antar Perwangsa lokal dan Penguasa Bali dari kerajaan Mataram karang asem di Lombok. Sebenarnya Belanda merasa tidak perlu untuk menempatkan pasukanya di Pulau Lombok. Namun, karena beberapa elit Lombok berkirim surat sedikitnya dua kali ke Gubernur Jendral belanda di Batavia untuk membantu mereka mengusir penjajahn bali. Dan fantastis, cukup dengan 150 orang sekelas Polisi, Belanda mampu menguasai Lombok dalam waktu yang lama.
3. Perlawanan orang sasak terhadap imperialisme bali dan Belanda juga tidak pernah menghasilkan perlawanan yang signifikan karena modela kepemimpinan perlawan tersebut yang lokalistik. Ego kedatiuan/Desa sangat mengemuka. Pemimpin lokal tidak pernah bersatu, di sisi lain, ini menjadi ruang terbuka yang empuk bagi politik belah bambu dan adu domba belanda maupun bali.
4. Setelah era otonomi pun demikian. Pada persitiwa pemilihan gubernur yang pada akhirnya memunculkan dan memenangkan Harun al rasyid dari etnis Mbojo-Bima sebagai gubernur NTB, tidak terlepas dari konflik elit Lombok yang berebut kuasa tanpa mengenal kompromi waktu itu.

Budaya Pemicu Krisis Kepemimpinan
Budaya yang di kembangkan oleh suku sasak bukan lahan yang subur untuk membiakkan dan mendidik kepemimpinan.
1. Penek onek kelemak / kencing tadi pagi. Ini adalah ungkapan yang sering di pakai oleh mereka yang merasa lebih tua/di tuakan untuk meredam kritisme atau munculnya tunas muda pemimpin. Bahkan ungkapan ini tidak jarang di bentakkan oleh orang tua terhadap anaknya yang ingin mengutarakan pendapatnya
2. Ngiring ; ikut jadi jamaah. Oleh sebagian kalangan, ungkapan ini di gambarkan sebagai personafikasi dari sifat rendah hati/humble dari orang sasak. Namun, di sisi lain, ungkapan ini juga memberi sinyal kepada kita, bahwa orang Sasak memang tidak siap menjadi pemimpin dan lebih senang menjadi pengikut. Dan celakannya, pengikut yang tidak kritis alias taklid buta (Ke surga ikut, Ke neraka turut yang muncul dari adanya tafsir bias ajaran sami’na wa atho’na kepatuhan tanpa kritisme) sehingga menjerumuskan pemimpinnya sendiri ke dalam jurang kegagalan.
3. Penewok ; Keturunan. Leader are born or leader are made?. Diskursus kedua ini tidak berlaku di dalam budaya masyarakat Sasak. Meskipun era telah berganti dari era batu ke era serat optik. Masyarakat Sasak masih membiakkan sikap feodalisme dalam melihat seorang pemimpin. Jadi tidak heran jika Sebuah desa pimpin oleh satu keluarga tertentu dalam kurun waktu yang lama, karena menurut anggapan orang Sasak, pemimpin akan lahir dari rahim pemimpin juga (Penewok). Sehingga jika ada keturunan amaq icok atau inak serep , meskipun terbukti lebih cerdas akan sulit muncul sebagai pemimpin orang banyak, tersebab, orang banyak ini menganut pandangan penewok tadi. Tentu saja, budaya ini menutup ruang bagi munculnya para pemimpin baru dari kalangan masyarakat awam atau kelas baru.
Budaya penewok ini juga melahirkan klas sosial di dalam masyarakat. Para pemimpin yang lahir dari budaya penewok ini biasanya datang dari kelompok menak/bangsawan atau agamawan/pekerja agama, yaitu orang yang bekerja dan berbisnis di sekitar issue agama.
4. Jurakan ; saling support atau saling menjatuhkan ?. Ada doktrin tentang kepemimpinan yang sering di ajarkan dulu di bangku sekolahan ; Pemimpin yang baik itu adalah yang mampu melahirkan pemimpin –pemimpin baru/kaderisasi kepemimpinan. Tapi kecenderungan umum yang kita lihat di Lombok, mungkin karena pengaruh rezim otoriter orde baru, bukannya menggandeng sang kader sebagai mitra, tapi cenderung memberangus kader-kader muda. Para pemimpin yang sedang berkuasa, memandang kader baru yang visioner sebagai kompetitor yang harus di tekan supaya tidak mengurangi kharisma/wibabwa pemimpin yang sudah ada. Contoh kongkrit yang mungkin setiap waktu kita bisa Saksikan adalah pada kompetisi bisnis kepemimpinan agama. Agamawan Senior yang lebih dahulu eksis dan besar, alih-alih bergembira karena tugas dakwah menjadi ringan dengan munculnya pemimpin agamawan baru, tapi kebalikannya , memandang kemunculan pesantren baru dan agamawan baru sebagai ancaman bagi dominasinya ; akan mengurnagi jumlah jamaahnya, mengurangi kewibawaannya, ,mengurnagi santri di pondoknya dan pada ujungnya mengurangi income dari bisnis agama itu.
Dari konflik elit pemimpin agama ini lalu muncul stigma-stigma serta istilah-istilah yang oleh para jamaah awam hanya di beo saja, tanpa memahmi maknanya seperti ; wahabi, salafi, bukan aswaja atau selain kita semuanya sesat. Dan pada akhirnya , konflik kepentingan bisnis agama para agamawan itu berujung pada konflik fisik horizontal rakyat banyak. Kakak mengkafirkan adik dan halal darahnya untuk di bunuh. Anak memutuskan tali silaturrahmi dengan ibunya, karena beda pemimpin agama tempat mengaji.
Tabek

Rhoma Hidayat

Selasa, 26 April 2011

Gawe Rapah : Mencontoh Tradisi Demokratis Bangsa Sasak

Bagi masyarakat suku Sasak Lombok, hubungan rakyat dengan pemimpinnya harus dilandaskan pada prinsip sebumbung (menjaga), sewirang (membela) dan sejukung (bersama-sama). Bila rakyat merasa pemerintah telah melaksanakan kebijakan yang keliru, ada sebuah forum tempat mereka leluasa menyampaikan aspirasi dan kritik. Pemimpin wajib mendengar mereka jika tidak ingin mendapat sanksi adat. Menggugat kebijakan pemerintah diluar forum itu sangatlah dihindari.

Sejak ratusan tahun silam Suku Sasak, Lombok, NTB, mengenal tradisi Gawe Rapah. Kata Gawe berarti pertemuan besar atau rapat, sedangkan rapah berasal dari istilah arab (arafah_red) yang berarti kedamaian. Gawe rapah adalah sebuah pertemuan berkala antara pemimpin dengan masyarakatnya dalam rangka mencari solusi atas berbagai persoalan yang ada mulai dari kasus percekcokan antar warga hingga soal kebijakan pemimpin yang dinilai keliru.

“Dari sisi hubungan antara pemimpin dan rakyat, Gawe rapah adalah tempat rakyat mengungkapkan keluh kesah mereka secara blak-blakan dengan bahasa dan sikap yang santun. Di luar Gawe rapah rakyat pantang menyebut-nyebut aib dan kelemahan pemimpinnya,” ungkap Raden Muhammad Rais, salah seorang tokoh adat Sasak, saat ditemui usai penutupan Gawe Rapah  di Gerung, Lombok Barat, NTB, 16 Februari 2011 lalu.

Tradisi Gawe rapah dimulai dengan  berkumpulnya warga di bale rapah. Hadir pula pemimpin banjar (pemimpin setingkat RT), Keliang (Kepala dusun) serta pihak-pihak terkait. Pertemuan tersebut dibagi kedalam beberapa tahap. Tahap pertama dinamakan ngenduh rerasan atau mengeluarkan perasaan. Pada tahap ini, warga diberikan kebebasan mengeluarkan segala macm unek-unek mereka. Pemimpin yang hadir hanya sebagai pendengar.

Tahap selanjutnya adalah gundem atau mencari solusi. Warga masih diberikan keleluasaan menentukan solusi yang tepat atas persoalan mereka. Tahap yang terakhir adalah sangkep atau memutuskan dan menyimpulkan.

Beberapa hal yang harus dipatuhi bagi mereka yang hadir pada Gawe rapah diantaranya tidak boleh menggunakan bahasa dan sikap yang kasar. Kritik terhadap pemimpin dipersilahkan bebas tetapi harus disampaikan dengan santun.  Ketentuan selanjutnya, warga tidak boleh mengungkap kelemahan dan aib pemimpinnya diluar Gawe rapah dengan catatan pemimpin wajib melaksanakan putusan gawe

“Yang main disini adalah komitmen bersama. Masyarakat komit mendukung pemimpinnya, pemimpin juga komit melaksanakan aspirasi rakyatnya. Setelah pertemuan selesai semua kembali ke tugas masing-masing. Rakyat tidak boleh berkoar-koar diluar. Pemimpin juga bersiap melaksanakan tugas sesuai kesepakatan. Semuanya soal komitmen,” ungkap Raden.

Bagi masyarakat sasak, hubungan antara rakyat dan pemimpin tidak diukur secara teknis sederhana soal siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Hubungan keduanya adalah hubungan emosional yang bertanggung jawab dengan rakyat sendiri sebagai aktor tunggalnya. Rakyat diharuskan merang (berani) menyampaikan kritiknya, disisi lain rakyat juga harus tindih kepada pemimpinnya. Baik rakyat dan pemimpin adalah entitas utama terjaminnya kesejahteraan hidup.

Berjalannya kesepakatan pada saat Gawe rapah juga didukung oleh pemberian sanksi adat bagi siapa saja yang melanggar baik warga lebih-lebih pemimpin, mulai dari hukuman ringan hingga berat.

Sanksi adat bagi mereka yang tidak mengindahkan keputusan bersama dimulai dari hukuman ngayah. Pihak terhukum diwajibkan menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan publik baik berupa uang maupun barang. Pada jaman dulu, pihak terhukum disuruh membersihkan jalan umum, pekarangan masjid dan lain-lain. Hukuman yang lain adalah pelilak atau dipermalukan. Oknum warga atau pemimpin kampung yang diketahui telah melanggar hukum akan dipanggil dalam pertemuan atas inisiatif mayoritas warga. Di tempat inilah diumumkan kesalahan-kesalahannya dengan niat agar yang melanggar merasa malu. Hukuman yang tergolong berat adalah peluah atau dikeluarkan dari aktifitas sosial masyarakat. Mereka yang melanggar ketentuan adat tidak diundang saat ada acara gotong royong, zikir, dan semua kegiatan bersama.

“ Sebenarnya ada hukuman yang paling berat yakni dibunuh dengan cara dibuah ke tengah laut dengan kaki digantungkan batu berat. Pelanggar tidak dilukai. Pelanggar juga tidak punya kubur. Ini untuk menghindari balas dendam dari pihak keluarga,” tambah Raden.

Tradisi yang hilang

Tidak jelasnya sistem dan pola hubungan antara masyarakat dan penguasa diyakini sebagai akibat dari tidak dirawatnya semangat Gawe rapah.  Banyak masyarakat yang hanya bisa asal kritik terhadap pemimpinnya, tanpa mempertimbangkan aspek etika dan substansi persoalan. Pemimpinnya pun demikian, nyaris tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan keinginan rakyat.

“  Kita sudah tidak mau belajar dari para leluhur lewat pakem-pakem adat yang mereka gariskan. Kita terlalu banyak mengimpor aturan dari luar yang nyata-nyata tidak sesuai dengan filsafat hidup kita,” ungkap Haji Jalaluddin Az-Zaky, tokoh agama asal Lombok Barat, belum lama ini.

Haji Jalal, begitu beliau dipanggil, juga mengkritik sistem demokrasi yang kini diterapkan di negeri ini.

“ Demonstrasi dengan meneriakkan aib pemerintah yang kadang-kadang tanpa mengetahui duduk persoalannya adalah salah satu keburukan itu. Pemimpinnya juga sudah tidak menjadikan aspirasi rakyat sebagai amanah besar yang harus dilaksanakan,” ungkapnya.
Semangat Gawe rapah setidaknya telah hilang bersama semaraknya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), rapat tahunan dan pertemuan-pertemuan formal yang tidak punya ruh.
Oleh :  Rasinah Abdul Igit (http://www.facebook.com/home.php?sk=group_208412732505306&view=doc&id=213623558650890)

Senin, 25 April 2011

Kepemimpinan Skak Mat ala Sasak!

Membaca komentar beberapa semeton soal peran para pemimpin terutama agama dalam perkara kebiasaan berkelahi orang Sasak, saya merasa perlu menambahkan serba sedikit tentang kepemimpinan ala Bangsa Sasak itu.

Para Tuan Guru yang sebenarnya adalah pemimpin spiritual seharusnya paling bertanggung jawab atas insiden demi insiden baik yang terkait perbedaan pegangan dan pemahaman ajaran agama ataupun karena persoalan persaingan politik dan ekonomi.

Para Tuan Guru adalah mahluk yang paling tidak tahu malu, karena berani memakai gelar pemberian orang-orang yang sebenarnya lebih pantas dikasihani dari pada dihargai.

Mereka yang memunculkan gelar itu adalah para penjilat yang mencari legalitas dari dukungan jamaah besar yang sebenarnya adalah warga polos yang ingin mencari pengetahuan agama pada para Tuan Guru itu.

Tuan Guru sejati telah mati, tinggalalah para manusia karbitan yang mengambil untung dari kepergian guru sejati itu. Rakyat diindoktrinasi begitu rupa agar mereka taat dan tunduk serta mengkultus individukan orang yang ditokohkan sebagai Tuan Guru. Rakyat dibawa kepada alam kemabukan agar rela melemparkan sepeser uang yang seharusnya dipakai membeli beras untuk makan anak-anak mereka. Setelah pulang pengajian, setahun dua tahun sepuluh tahun kehidupan tidak bertambah baik, bahkan anak cucu mereka mati busung lapar, tidak bersekolah dan menjadi pengangguran serta TKI ilegal.

Para Tuan Guru yang tak tahu malu itu, membangun gedung gedung besar bak menara babel, untuk semakin menam pengaruh pada masyarakat luas. Masing masing kubu memperbesar pengaruh politik dan ekonomi. Mereka senantiasa menanti tepuk riuh pendukungnya yang seperti pemabuk, hanya senyum dan terawa tetapi menangis sampai di rumah. Jamaahnya muncul menjadi fanatik buta dan berjihad atas nama kelompok yang sesungguhnya jauh panggang dari api, kalau dilihat dari cita-cita Islam yang Rahmatn lilalamin.

Apa yang telah diajarkan dan terus diajarkan tak lain adalah agar masyarakat mendukung mereka untuk memperbesar diri. Apa yang diberikan pada masyarakat yang menyokong menara babel, tidak ada sama sekali. Buktinya penyakit busung lapar, TBC meraja lela bersama penyakit-penyakit yang hanya bisa terjangkit pada masyarakat terbelakang, belum lagi penyakit masyarakat yang mencerminkan bobroknya moral. Aborsi, cerai karena kawin, ayah menghamili anak, tidak membuat para Tuan Guru malu dan berhenti bercokol pada singgasana kekuasaan dengan jubah kebesaran peninggalan kakek-kakeknya yang memang terlalu besar untuk otaknya yang kerdil dan bermahkota dukungan fanatik buta dari jamaah  yang disihir setiap hari. Para Tuan guru tak pernah kena panas terik, dingin malam, kehausan seperti amak kangkung dan loq sekeq yang mengorbankan apa saja. Mereka tidak mau tahu kalau mobil yang dipakai adalah uang makan anak-anak kecil yang sekarang terbengkalai menderita TBC dan Gizi buruk.

Kita tak dapat memaki pemerintah yang memang korup, kita seharusnya menurunkan mereka , dan hanya kebodohan yang membuat pemerintah terus berkuasa. Tetapi para Tuan guru yang seharusnya dapat menyikat penguasa politik itu malah tidak berbuat apa- apa dan malah mendukung mereka. Belum pernah ada tuan guru datang menenangkan pendemo di kantor bupati, entah karena merasa sesama pemeras rakyat, sehingga tak ada yang boleh saling ganggu urusan.

Para pemimpin Sasak adalah raja diraja ego, yang berciri pemimpin ala pemain catur yang bekerja keras membunuh saingan kalau perlu skak mat seketika. Maka timbullah Tuan Guru kecil-kecil di sembarang tempat dan waktu. Masing-masing bukan membuat sholeh, pintar dan meninggikan akhlak jamaah, tetapi memperbesar pundi-pundi mereka dan memperluas gedung dan meninggikan menara babelnya. Pemimpin formal setali tiga uang, mana ada yang bermental pemain sepak bola yang mengandalkan permainan cantik tim? Masing masing sibuk mengkorup apa saja yang bisa dikorup. Tak ada uang alat kantor digondol, tanah desa digadai. Atau mark-up anggaran sampai meledak dan mencekik kehidupan rakyat. Pemimpin ala burung kuwak kaok yang mencakar sesamanya adalah setan yang berwujud manusia.

Rakyat seharusnya mulai mandiri dan mengaji dimanapun yang penting mengaji sungguh-sungguh. Rakyat harusnya sudah merdeka dari segala penderitaan dan ketertindasan dari bangsa sendiri. Rakyat hendaknya merdeka dengan kemerdekaan sebenarnya. Bebas di dalam menggunakan hak politik, lepas dari kelaparan, merdeka dalam berbudaya dan pendidikan yang Islami dan bersahaja. Rakyat harus membangun sekolahnya sendiri dan menjadikan apa saja demi kemakmuran orang banyak. Bukan memakmurkan seglintir orang yang kemudian membangun menara babel di atas derita kaum papa.

Awas! Orang yang lapar adalah orang yang mudah marah! Orang yang mudah marah gampang mengamuk! Dan kalau sudah mengamuk semua akan hancur! Bangsa Sasak sedang menuju kehancurannya! Tak akan ada Tuan Guru yang dapat menghentikan itu…

Orang Sasak adalah orang yang polos, jujur, pacu, patuh dan patut dalam kehidupannya. Jangan sampai ada sekelompok kecil orang memutar-mutar mereka sampai pusing dan mabuk. Lalu dirampas hartanya dengnan taktiksukarela. Bangsa Sasak Merdeka!.

Merdekalah Bangsa Sasak!.
Merdekalah Bangsa Sasak!.
Merdekalah Bangsa Sasak!.
Merdekalah saudaraku yang kucintai…

Demikian dan maaf,
Wallaohualam bissawab,
Yang ikhlas
Hazairin R. JUNEP

dipungut dari http://sasak.org/2008/

Sabtu, 23 April 2011

Tradisi Perkawinan di Lombok

Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden.Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya.
Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.
Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia. Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim.Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.

Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung (great tradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil (little tradition) Islam. Berbagai warna Islam –dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.

Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan.

Selanjutnya, apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merariq, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merariq sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merariq merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam.

1. Merariq dan Latar Sejarah Tradisinya
Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merariq. Secara etimologis kata merariq diambil dari kata “lari”, berlari. Merariqan berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merariq.

Secara terminologis, merariq mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merariq) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama, orisinalitas merariq. Kawin lari (merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.

Kedua, akulturasi merariq. Kawin lari (merariq) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merariq) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merariq memiliki tingkat akurasi lebih valid.

Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merariq ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.

Tradisi merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.

Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merariq berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: mara’m ngendeng anak manok bae (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.

2. Prinsip Dasar Tradisi Merariq
Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari di pulau Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merariq) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merariq).

Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merariq) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merariq) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut.

Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merariq) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merariq). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merariq) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat.

Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat Sasak.

3. Sisi Positif Tradisi Merariq
Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah). Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya.

Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum pada acara nyongkolan yang menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.

Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merariq ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.

4. Sisi Negatif Tradisi Merariq
Dalam banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).

Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan).

Menurut penuturan Muslihun Muslim (dosen IAIN Mataram), terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merariq) sebagai berikut: (1) terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga; (2) terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik; (3) perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4) terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok; (5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya; (7) nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke; (8) kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul; (9) jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

Epilog
Sejarah suku Sasak Lombok ditandai dengan silih bergantinya berbagai dominasi kekuasaan di pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khazanah kebudayaan Sasak. Hal ini sebagai bentuk dari pertemuan (difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Oleh karenanya tidak berlebihan, jika Lombok dikatakan sebagai potret sebuah mozaik. Ada banyak warna budaya dan nilai menyeruak di masyarakatnya. Mozaik ini terjadi antara lain karena Lombok masa lalu adalah merupakan objek perebutan dominasi berbagai budaya dan nilai. Dalam konteks ini paling tidak ada empat budaya yang paling signifikan mendominasi dan mempengaruhi perkembangan dinamika pulau ini, yaitu: 1) pengaruh Hindu Jawa; 2) pengaruh Hindu Bali; 3) pengaruh Islam; dan 4) pengaruh kolonialisme Belanda dan Jepang.

Konversi orang ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut. Lebih lanjut, dalam konteks masyarakat Sasak Lombok, Islam merupakan rujukan utama dan lensa ideologis dalam memahami dan mengevaluasi perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghadapi perubahan, dan akulturasi budaya dalam kehidupan sosial mereka.

Demikianlah merariq dengan pernak pernik budaya akulturasinya telah memberi warna parokialitas pada tradisi masyarakat Sasak Lombok. Lebih jauh, akulturasi Islam dan budaya diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-âdah muhakkamah. Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu sesuai dengan kaidah taghayyur al-ahkâm bi at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl. Pribumisasi Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Semoga. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. (Ditulis oleh: M. Harfin Zuhdi, MA)

Senin, 11 April 2011

Tuan Guru versus Wahabi di Pulau Lombok

Studi-studi sosial di pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa Tuan Guru sebagai pemimpin Islam memegang peranan penting dalam menentukan dan mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh masyarakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri masyarakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan Tuan Guru. (Budiwanti, 2000)
Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat ini oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur masyarakatnya. Hal ini menunjukkan terjadinya pelapisan sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik yang diciptakan oleh sistem sosial. (Badrun, 2006) Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan patut dihormati. Sebutan "tuan" dalam masyarakat Sasak juga merujuk pada orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan "guru" adalah sebutan bagi orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan hubungan hirarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat (masyarakat). Walaupun hasil riset dan karya-karya yang utuh tentang Tuan Guru belum banyak dilakukan—sebagaimana Kiai di pulau Jawa1—namun menurut Badrun (2006) maksud dari sebutan tersebut dapat kita tangkap pada tulisan Martin Van Bruinessen (1994) tentang tarekat Naqsabandiyah di pulau Lombok, John R. Bertholemew (2001), dan Erni Budiwanti (2000) tentang proses beragama di Gumi Sasak. Secara jelas dari masing-masing karya tersebut memberikan maksud yang tak jauh berbeda bahwa Tuan Guru merupakan predikat yang diberikan bagi orang yang memiliki ilmu agama (dan pernah menunaikan ibadah haji) dengan dukungan kharisma2 yang tinggi, dan menempati kelas sosial teratas, dan dihormati sebagai pewaris Nabi. Masyarakat Sasak yang memandang penting penge-tahuan agama, memandang Tuan Guru sebagai sumber pengetahuan yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terkait dengan seluruh aktifitas kehidupan yang akan membawa mereka kepada cita-cita ideal, akibatnya tuan guru menjadi legitimator yang memberikan "pencerahan" terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi. Peranan penting Tuan Guru juga terkait dengan kedudukan mereka sebagai elit terdidik yang mentransfer pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka akan memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat, karena umumnya masyarakat Sasak menyadari keterbatasan pengetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama secara luas. Posisi ini memperkuat nilai tawar Tuan Guru terhadap masyarakatnya sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi pegangan masyarakat dalam memahami perubahan, terutama perubahan dalam cara "memperlakukan" doktrin agama secara literal (rigid) maupun liberal. Sebagai contoh, ajaran wahabi3 yang dikenal sebagai—meminjam istilah Rahmat (2006)—suatu ajaran yang berkarakter khusus4, yakni ajaran yang menggeneralisasi bid’ah pada setiap doktrin agama yang tidak dijalankan sesuai dengan maksud teks Al-Qur’an dan hadits secara harfiah, bagi kebanyakan tuan guru dipandang dapat memunculkan embrio individualisme di tengah masya-rakat. Dengan kata lain penetrasi wahabisme di tengah masyarakat Sasak dapat mengancam harmoni sosial dalam masyarakat yang sebelumnya terpelihara dengan, serakalan, tahlilan, maulidan (mulud) dan berbagai aturan adat yang telah mengadaptasi. Pun dalam konteks "memperlakukan" doktrin agama secara liberal seperti yang diimajisasi oleh Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberalnya (JIL), yang dalam pandangan tuan guru mereka "didaulat" sebagai penyusup yang berusaha meruntuhkan pilar-pilar agama secara internal. Pandangan-pandangan tuan guru tersebut oleh masya-rakat Sasak dimaknai sebagai—meminjam istilah Budiwanti (2000)—atmosfir yang mengancam jati diri mereka sebagai muslim yang taat, sekaligus menerbitkan rasa tidak aman dalam menjalankan agama. Walau tidak tertutup kemungkinan adanya beberapa kelompok kecil di tengah masyarakat Sasak yang mampu mengakses informasi yang lebih luas dan mampu memper-timbangkan perlakuan keliteralan maupun keliberalan sebuah doktrin dengan bijaksana, namun karena mayo-ritas masyarakat Sasak cenderung memandang dan mengagungkan ketokohan, maka setiap dari mereka dapat diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru,5 karena walau bagaimanapun legitimasinya adalah lokomotif dari gerak mereka. Untuk itu, buku ini akan berusaha menelaah pemikiran Tuan Guru terhadap kelompok wahabi dalam pergumulan identitas sosial dilihat dari berbagai kategori pemikiran yang berkembang, dan dasar-dasar pemikiran tersebut dapat diterima oleh masyarakat Sasak. 

_____________________________________
1. Secara umum perbedaan cara perolehan status antara Kyai di Jawa dan Tuan Guru di Lombok melalui alur yang berbeda. Di Jawa perolehan status Kyai dapat melalui tiga cara yakni pertama melalui ascribed status, dimana seseorang memperoleh status dari keturunannya, kedua melalui achieved status yakni status diperoleh melalui usaha yang disengaja, dan yang ketiga adalah campuran dari kedua tersebut, yakni seseorang memperoleh status kyai selain karena faktor keturunan juga disebabkan oleh faktor kemampuannya. Adapun status Tuan Guru di Lombok hanya dapat diperoleh melalui achieved status
2. Kharisma sangatlah determinatif dalam membuat predikat tersebut. Orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, bila tidak didukung oleh kharisma yang kua t maka tidak akan disebut sebagai Tuan Guru, ia hanya berhak disebut guru atau ustad. Demikian sebaliknya orang yang hanya memiliki kharisma namun tidak memiliki pengetahuan agama akan disebut tuan, datu, ataupun raden. Dalam perjalanannya predikat sosial keagamaan tersebut telah mengalami pergeseran sensibilitas karena pengaruh perkembangan sosial. Kharisma sangat ditentukan oleh kemampuan membangun pengaruh dan mobilitas sosial. Kharisma inilah yang telah menyedot pengaruh yang demikian kuat sehingga relasi kuasa yang terbangun antara Tuan Guru dan masyarakat berada pada bingkai yang meta rasional. Masyarakat dengan sukarela akan membela dan mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru. Lihat Badrun AM. Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta: Genta Press, 2006), cet ke-1 h. 97 
3. Hampir oleh kebanyakan masyarakat Lombok istilah wahabi tidak dikenal, mereka menyebut kelompok ini dengan salafi, namun untuk lebih memudahkan penyebutan dalam buku ini akan menggunakan istilah wahabi. Paham wahabi diperkirakan masuk ke Lombok seiring kepulangan jamaah haji dari Mekah, namun (sejauh penelusuran penulis) tidak diketahi secara persis kapan paham ini muncul. Dan yang hanya bisa dilacak adalah paham ini pernah dilekatkan kepada Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid ketika ia mengganti sistem pengajaran dari sistem sorogan menjadi sistem klasikal di Pondok Pesantren Al-Mujahidin yang ia pimpin, dan di tahun 1980-an hal serupa juga menimpa Tuan Guru Musthafa Umar Abdul ‘Aziz. Namun yang akan dicermati dalam penelitian ini adalah kemajuan penetrasi paham ini setelah tahun 1993. 
4. Karakter ajaran yang khusus tersebut antara lain; pertama memerangi segala bentuk syirik, khurafat dan bid’ah. Kedua menerapkan literalisme yang ketat dan menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah. Ketiga menampilkan permusuhan yang ekstrem terhadap intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan sekte dalam Islam. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), cet ke-1, h. 66 
5. Setiap pilihan dan langkah yang diambil Tuan Guru umumnya diikuti tanpa reserve oleh masyarakat Sasak, apalagi mempertimbangkan lebih jauh dimensi di luar keyakinan dan ketaatan mereka. Hal ini kemungkinan beranjak dari hadis populer “ulama sebagai pewaris Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa sifat-sifat Nabi melekat dalam diri Tuan Guru. Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi sebagian masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini lahir dari pemahaman lingkungan sosialnya.

Selayang Pandang Etnografi Lombok

Etnik Sasak merupakan penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas, mereka meliputi lebih dari 92% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Kelompok-kelompok etnik seperti Bali, Samawa, Arab, Cina, Timor dan lain-lain adalah pendatang, dan di antara mereka orang-orang Bali merupakan kelompok etnik terbesar, meliputi sekitar 3% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Jumlah kedua terbesar dari kelompok pendatang itu adalah orang-orang dari etnik Samawa dari pulau Sumbawa bagian barat. Sebagian besar orang Bali terutama bermukim di Lombok Barat dan Kota Mataram, dan ada juga sedikit bertempat tinggal di Lombok Tengah. Etnik Bali yang tinggal di Lombok adalah keturunan dari para penakluk yang datang dari Karangasem pada abad ke-17 lalu. Jumlah orang-orang Bali di Pulau Lombok tidak lebih dari 70.000 jiwa, sekitar 53.842 orang tinggal di Kota Mataram. Orang-orang Samawa bermukim di Lombok Timur. Orang-orang Arab hampir terkonsentrasi tinggal di Ampenan di wilayah permukiman khusus yang disebut Kampung Arab, sedangkan orang Tionghoa atau Cina yang mayoritas pedagang tinggal di pusat-pusat perdagangan dan pasar, seperti di Cakranegara, Ampenan dan Praya. Orang-orang Bugis yang jumlahnya cukup banyak dan merupakan migran yang cukup lama tinggal di Lombok, umumnya mereka hidup sebagai nelayan dan tinggal di hampir sepanjang pesisir pantai Pulau Lombok, mulai dari pantai Sekotong, Gili Gede, Kampung Bugis, dan Pondokperasi, Ampenan, sepanjang pantai Pemenang, Tanjung, hingga Labuhan Carik (Kabupaten Lombok Barat), Tanjung Luar, Labuhan Lombok, Labuhan Haji (Kabupaten Lombok Timur). Selain itu mereka juga banyak mendiami pulau-pulau kecil di sekitar pulau Lombok seperti Gili Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Sedangkan komunitas Jawa sejak zaman Belanda dan pasca kemerdekaan menempati permukiman khusus Kampung Jawa yang terdapat di Mataram, Cakranegara, dan Praya serta Selong. Ampenan, selain permukiman khusus orang Arab, terdapat pula Kampung Banjar, Kampung Melayu, Kampung Bugis. Selain itu pemukiman pemeluk Nasrani umumnya berasal dari keturunan Timor, disebut Kampung Kapitan. Masing-masing komunitas dengan kampung khusus itu dikepalai oleh tetua masyarakatnya yang disebut Kapitan. Mengenai sejarah atau asal-usul etnik Sasak, masih menjadi perbincangan di antara para ahli sejarah, sebab sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian yang seksama mengenai hal tersebut. Namun berangkat dari bukti-bukti etnografis yang sederhana dapat dikatakan bahwa, etnik Sasak adalah bagian dari keturunan Etnik Jawa yang menyeberang ke Pulau Bali kemudian ke Pulau Lombok, dan diperkirakan mulai sejak zaman Kerajaan Daha, Keling (Kalingga), Singosari sampai pada zaman Kerajaan Mataram Hindu pada abad ke 5-6 Masehi. Lebih-lebih setelah hampir runtuhnya Kerajaan Majapahit di penghujung abad ke-15 atau tepatnya sekitar tahun 1518–1521 di saat memasuki era Islamisasi, penyeberangan migran Jawa ke Lombok semakin meningkat. Duplikasi nama-nama tempat maupun nama-nama orang antara Jawa dan Lombok dapat menjadi bukti akan hal ini, seperti Kediri, Kuripan, Keling, Jenggala, Pajang Mataram, Gresik, Surabaya, Medang, Menggala, Wanasaba, Suralaga, Pringgabaya, Kutaraja, Suranadi, Sukaraja, Kutara, Peneraga, dan lain-lain. Juga, dalam hal penamaan orang terlihat dengan jelas pengaruh dari nama-nama Jawa, seperti Raden Wiracempaka, Mamiq Diguna, Loq Swarna, Baiq Diah Purwanti, La Sumirah, Setiawati, dan lain-lain. Hal itu juga terlihat pada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, kesenian rakyat, tata nilai, adat istiadat, yang relatif memiliki kesamaan, dan dipengaruhi oleh budaya Jawa. Duplikasi tulisan huruf Jawa yang kemudian popular disebut Jejawen/Jejawan dalam huruf Sasaka dengan bahasa Kawi menjadi tulisan yang digunakan dalam kitab-kitab lontar Sasak yang disebut takepan. Adapun bukti tertulis yang menandai bahwa Etnik Sasak mempunyai hubungan dengan Etnik Bali adalah penemuan nekara perunggu yang bertuliskan “Sasak dana prihan srih Jawa nira” (benda ini pemberian orang-orang Sasak). Kerangka perunggu itu berangka tahun 1077 Masehi, bertuliskan huruf kuadrat. Nekara itu ditemukan di Desa Pujungan Tabanan Bali. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian arkeologi atau hasil ekskavasi di Gunung Piring, Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah bagian selatan pada tahun 1976, menunjukkan sekitar 1600-1800 tahun yang lalu, Pulau Lombok telah dihuni orang. Penduduk di kala itu mempunyai kebudayaan yang sama dengan penduduk yang mendiami Gilimanuk Bali dan Pulau Pallawan di Piliphina. Pada abad ke 5-6 M, migran-migran Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga, Daha, Singosari, berdatangan ke Lombok dengan membawa paham agama Shiwa-Budha. Menyusul setelah itu, kerajaan Hindu Majapahit, Hindu dari Jawa Timur masuk ke Lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budha di kalangan orang Sasak. Pengaruh migran yang membawa agama Shiwa-Budha maupun Hindu-Budha tidaklah signifikan karena setelah dinasti Majapahit jatuh pada abad ke-13 raja Jawa muslim, untuk pertama kalinya membawa agama Islam masuk melalui Gowa Sulawesi dan tiba di Lombok dari arah timur laut. Disusul kemudian oleh orang-orang Makasar (Bugis) dari kerajaan Gowa tiba di Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasai kerajaan asli Etnik Sasak yakni Selaparang. Pada saat yang bersamaan Kerajaan Gelgel dari Bali berusaha melakukan infiltrasi ke Lombok Barat untuk menguasai Lombok atau kerajaan Selaparang, sekaligus membendung gerak maju kekuasaan dari raja Gowa yang membawa misi Islam Sunni. Selain konversi orang Sasak Boda ke dalam Islam, secara khusus dapat dilihat bahwa dua kerajaan terakhir inilah yang memengaruhi secara dominan sosial budaya masyarakat Sasak hingga saat ini. Namun secara umum sosial budaya masyarakat Sasak dipengaruhi oleh semua kebudayaan migran yang datang ke Lombok, atau dengan kata lain, kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa sosial budaya masyarakat Sasak berkaitan dengan sistem budaya yang kompleks, yang termanifestasi ke dalam bahasa, adat istiadat, tata nilai, busana, sistem kepercayaan, beberapa tradisi dan kebiasaan, nama-nama orang dan tempat, tradisi kesenian, dan permainan rakyat.

Makanan Dalam Konsep Budaya Sasak

Suku Sasak adalah  suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dengan bahasa sehari-hari  adalah bahasa Sasak. Sebagian besar Suku Sasak beragama Islam Waktu Lima (meminjam istilah Budiwanti),  dan sebagian kecil masih menganut Islam Wetu Telu.

Pada awal abad ke-17, Kerajaan Karangasem dari Bali berhasil menanamkan pengaruhnya di wilayah barat Pulau Lombok dan pada tahun 1750 seluruh wilayah PulauLombok berhasil dikuasai kerajaan Hindu dari Bali itu. Dengan dikuasainya Pulau Lombok oleh Bali, maka orang-orang Bali berdatangan ke Lombok sekaligus membawa serta kebudayaan mereka ke Lombok termasuk dalam kebudayaan makan.
Dengan adanya perpindahan tersebut maka sampai saat ini sebagian kebudayaan Suku sasak merupakan akibat pengaruh dari kebudayaan Bali dengan Islam, termasuk dalam memahami dan melaksanakan kegiatan yang berhungan dengan makanan.

Konsep tentang Makanan
Menurut orang Sasak, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan yang dapat mengenyangkan dan menyenangkan hati. Dilihat dari pengertian itu,  makanan orang Sasak dapat dibedakan menjadi  makanan sehari-hari atau makanan pokok, makanan upacara, dan makanan panganan ( bahasa Sasak : kakenan).

Makanan pokok pada umumnya adalah nasi dan lauk pauk (” jangan dalam bahasa sasak”). Perbandingan antara kedua jenis makanan itu selalu jumlah nasi lebih banyak dari lauk pauknya. Ragam lauk pauk setiap kali makan pada umumnya hanya satu macam ditambah  dengan sayur hijau (jangan kelak) dengan sambal dan garam sebagai perangsang.

Dalam konsep makanan orang Sasak, bahwa yang dapat mengenyangkan dan menggemukkan hanyalah nasi. Lauk pauk dan sayur mayur hanya berfungsi sebagai penyedap dan pelancar. Karena itu susunan menu tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Bagi mereka nasi adalah makanan yang utama. Bila sudah ada nasi, kesehatan dan pertumbuhan orang pasti terjamin. Makan selain nasi dianggap belum makan, sekalipun sampai kenyang.

Orang sasak juga mempercayai kehidupan setelah mati, makhluk gaib dan arwah nenek moyang. Untuk menghormati hal-hal tersebut agar dapat memberikan keselamatan baik bagi yang sudah mati maupun yang masih hidup maka diadakan upacara-upacara tertentu. Dalam setiap upacara-upacara tersebut maka mereka akan menyajikan makanan yang lebih dari pada kebiasaan sehari-hari, terutama kualitas dan kuantitasnya.

Golongan makanan yang ketiga adalah yang disebut oleh orang Sasak dengan kakenan. Kakenan artinya makanan selain nasi. Termasuk ke dalam golongan ini adalah segala jenis jajan, jagung, dan berbagai jenis umbi-umbian yang enak dimakan sebagai nyamikan (camilan).

Sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, maka suku sasak tidak mengkonsumsi makanan makanan tertentu seperti babi, darah, bangkai kecuali ikan dan belalang. Begitu juga makanan yang dianggap hidup di dua alam seperti katak serta makanan yang menjijikkan seperti kelelawar dan ular.

Masyarakat juga masih ada yang pantang terhadap makanan tertentu dengan alasan kesehatan seperti ibu hamil tidak boleh makan nenas, durian karena panas dan berdampak pada bayi yang dikandungnya. Orang patah tulang tidak boleh makan daun paku karena bisa membuat ngilu.

Masih ada juga kepercayaan terhadap makanan tertentu seperti belut dapat menambah darah, daging dapat meningkatkan keperkasaan pada lelaki dan makan garam sebelum makan dapat  menghindari dari gangguan makhluk halus atau orang yang berniat jahat kepada kita.

Menyisakan makanan merupakan hal yang tabu, berarti tidak menghargai karunia Allah yang telah memberikan makanan, oleh karena itu untuk menanamkan hal itu maka anak-anak diajarkan untuk makan sesuai kebutuhannya dan tidak boleh ada sisa. Pada acara-acara keagamaan dan adat maka jika ada sisa maka akan dibawa pulang sebagai berkat.

Prilaku Makan Suku Sasak
Suku sasak sangat menghargai makanan, karena mereka beranggapan bahwa makanan itulah yang membuat mereka tumbuh. Makanan akan menjadi darah dan daging mereka, sehingga mereka akan sangat berhati-hati dalam mencari dan memperlakukan makanan. Nasi tidak boleh diduduki atau dilangkahi sehingga penempatannya sangat diperhatikan.

Makanan yang baik dapat menjernihkan pikiran sedangkan makanan yang haram dapat mendorong manusia pada kesesatan dan kekotoran pikiran. Karena itu mulai dari pembibitannya sampai penyajiannya berupa makanan diusahakan sebaik mungkin agar membawa berkah bagi kehidupan manusia.

Alat untuk memasak nasi disebut periuk. Setelah matang, nasi disendok dari periuk dimasukkan ke dalam rombong atau ponjol atau gadang kemudian disimpan dengan carta menaruh pada suatu gantungan yang disebut lanjaq. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari nasi dari tikus serta menempatkan nasi lebih atas/tinggi agar tidak dilangkahi.

Pada umumnya para wanita atau ibu Sasak mengatur kerja di dapur berakhir bertepatan dengan waktu makan tiba. Pada waktu makan tiba mereka telah siap menyajikan makan siang untuk keluarganya.

Orang Sasak yang pada umumnya petani mengenal 2 kali makan dalam sehari. Makan pagi (ngelemaq)  dan makan sore (ngebian). Meskipun demikian mereka juga mengenal istilah makan pagi (nyenyampah). Tetapi ini bukan kebiasaan umum. Nyenyampah dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya kalau hendak bepergian jauh, sedangkan waktu makan pagi (ngelemaq) belum tiba.

Pada akhir-akhir ini nyenyampah (sarapan pagi) menjadi populer di kalangan anak-anak sekolah di kota  dan orang-orang Sasak yang bekerja sebagai buruh pedagang dan Pegawai negeri. Demikian pula di kalangan kusir cikar (cidomo) dan sopir. Di kalangan petani saraapan juga sudah mulai populer. Hanya di antara mereka terdapat 2 golongan besar dilihat dari bahan sarapan. Petani-petani di desa kebanyakan sarapan dengan ubi, ketela, jagung kadang-kadang ketan sesuai kemampuan masing-masing atu bahkan dengan  secangkir kopi saja.

Bahan-bahan sarapan biasanya telah siap sebelum matahari terbit. Selesai sholat subuh bapak-bapak dan anak laki-laki yang telah dewasa mulai sarapan dengan minum kopi. Sarapan disuguhkan dalam piring ysnjg ditempatkan di talam. Ayah dan anak lelakinya yang telah dewasa duduk menghadapi sarapan untuk makan bersama-sama. Menyantap ubi dan lain-lain berbeda tata caranya dengan makan nasi. Ketika makan sesuatu selain nasi, dapat lebih santai, tidak terikat tradisi.

Orang-orang Sasak yang mampu baik di kota maupun di desa pada umumnya menyediakan nasi dengan lauknya sebagai bahan sarapan pagi. Pagi-pagi sesaat sebelum berangkat ke tempat kerja masing-masing sarapan sudah terhidang di atas meja makan.

Anak-anak yang akan berangkat ke sekolah dapat serapan lebih dahulu dari pada ayahnya yang akan ke kantor. Ibu dan anak-anak yang tidak sekolah  sarapan paling kemudian. Pada hari Minggu atau pada hari libur juga sarapan menurut keperluan yang penting sarapan telah tersedia di atas meja.

Makan siang biasanya dilakukan antara jam 11.00 sampai 14.00, tergantung pekerjaan anggota keluarga. Yang diberi makan pertama adalah anak-anak kecil yang belum bersekolah atau yang masuk siang atau sore. Namun makanan untuk ayah sudah disiapkan dan disisihkan tersendiri. Bila anak-anak sudah selesai baru ayah menyusul. Paling akhir yang makan adalah ibu.

Bagi anak-anak biasanya diberi makan di dapur dengan duduk bersila. Nasi dan lauk pauk mereka masing-masing sebelum makan sudah ditaruh di piring. Waktu makan mereka duduk bersaf berhadap-hadapan. Dapat juga duduk melingkar mengelilingi makanan. Kecuali nasi, lauk pauk dan sayuran sama-sama mengambil dari mangkok yang sama. Di dekat mereka ibu mereka duduk melayani. Ibu menambah nasi atau sayuran mereka jika isi mankok sudah mulai berkurang. Kalau ada ikan atau telur di samping sayuran maka ikan atau telur telah dibagi sama atau tidak sama sekali.

Menyuap nasi juga tidak boleh terlalu banyak. Sedang-sedang saja, supaya nasi dapat dikunyak dengan baik. Temponya juga harus sedang. Tidak boleh terlalu cepat tetapi juga tidak boleh terlalu lambat sehingga menghambat yang lain. Anak yang telah lebih dahulu selesai tidak boleh meninggalkan tempat makan sebelumselesai seluruhnya. Waktu minum mereka juga minum dari kendi yang sama. Ketika mengunya dan menelan tidak boleh sampai kedengaran suaranya. Mengunyah harus dengan mulut tetap terkatup. Suara decapan yang keras dapat menhilangkan berkat. Sari makanan akan lari karena mendengar suara decapan yang keras.

Akibat badan akan menjadi kurus karena memakan nasi yand sudah kehilangan sarimya. Demikian pula selama makan tidak boleh ribut bercakap-cakap, apalagi bermain-main.

Semua anak harus duduk dengan tertib dan khidmat. Mata dan pikiran harus dipusatkan kepada nasi. Nasi yang jatuh harus dipungut dan dimakan. Karena itu dilarang sekali anak-anak membiarkan remah-remah nasi berhamburan di tanah atau di kakinya. Remah-remah yang berceceran harus dipungut dibasuh dan dimakan. Bila tidsak ibu bercerita kepada anak-anaknya bahwa remah-remah yang tidak dipungut akan menangis berbaris pergi mengajak nasi yang masih di dalam tempat nasi.

Orang-orang yang menyia-nyiakan nasipun akan jatuh miskin, jauh rezkinya. Selamanya tidak pernah sejahtra dan berkecukupan makanannya. Ketika semua sudah selesai makan maka meninggalkan tempat makan, alat-alat makan disusun rapi. Tiap-tiap anak mencuci tangannya dalam mangkuk pembasuh tangan yang sama secara bergilir.

Alat-alat makan yang kotor dicuci oleh anak-anak wanita yang sudah remaja atau dewasa. Bila-anak-anak masih kecil semua atau laki-laki semua maka alat-alat bekas makan dicuci oleh ibu. Tata kelakuan makan di atas terus dibina dan ditingkatkan setiap waktu makan sehingga lama-lama menjadi kebiasaan. Kebiasaan makan juga dipraktekan bila makan di tempat lain atau tempat –tempat pesta.

Seseorang laki-laki Sasak yang dewasa bila makan selali manghadapi nasinya dengan duduk bersila. Kecuali kalau di tempat darurat seperti di sawah atau ladang yang becek boleh makan sambil jongkok. Kalau di rumah harus duduk dengan tertib. Di samping karena kebiasaan juga untuk memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya yang masih kecil. Mula-mula tudung saji dibukanya dan diletakan pada tempat yang baik.

Dengan mengucap “Bismillah” garam itu disentuhkan pada ujung lidah maka mulailah dia makan dengan tertib. Setiap suapan nasi diikuti dengan lauk atau sayur. Bergante-ganti dengans ambal atau cabai sabagai perangsang.

Bila menyendok nasi untuk mengimbuh dengan mempergunakan tangan kanan. Sebelum memegang sendok tangan harus dicuci lebih dahulu. Menurut adat tabu menyendok nasi dengan tangan kiri walaupun dengan alasan kepraktisan. Bagi orang Sasak untuk beberapa kegiatan tidak boleh mempergunakan tangan kiri.

Sebabnya karena tangan kiri sering dipergunakan memegang yang kotor terutama untuk bersuci setelah buang air. Demikian pula tangan kiri tidak boleh dipakai untuk menunjuk. Menunjuk dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, merupakan suatu penghinaan bagi yang ditunjuki.

Tata kelakuan makan yang diajarkan kepada anak-anak juga selalu dipraktekkan dengan baik oleh seorang ayah. Maksudnya sebagai tauladan yang praktis. Jika pada waktu memulai makan diawali dengan mencicipi garam, maka setelah selesai makan ditutupi pula dengan mencicipi garam.

Ketika makan biasanya secara bersila di atas selembar tikar seperti cara orang kampong. Secara kebetulan juga semua pegawai yang terdiri dari orang-orang Sasak sekarang adalah orang-orang desa yang karena keberhasilannya dalam pendidikannya mereka menjadi pegawai. Adapt kebiasaannya masih sesuai dengan adapt kebiasaan orang tua di kampung.

Makanan dan Upacara-Upacara
Masyarakat sasak sebagaimana kebudayaan beberapa daerah di Nusantara, juga mengenal berbagai acara selamatan, baik yang dihubungkan dengan agama islam maupun dari sisi budaya semata, antara lain : Upacara kehamilan atau bisok tian (cuci perut) pada 7 bulanan, ngurisan (akikah), sunatan, perkawinan, kematian 1 hari, 3 hari (nelung), 7 hari (mituk), 9 hari (nyangang), 40 hari, 100 hari, tahunan (haul), maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Idul Adha dan lebaran topat.

Pada setiap upacara-upacara tersebut tidak terlepas dari makanan sebagai pelengkap atau bahkan bagian yang utama dari makanan tersebut. Variasinya mulai dari yang paling sederhana berupa nasi dan telur saja sampai dengan variasi yang lengkap, sangat tergantung dari kemapuan ekonomi dan status sosial budaya masyarakat yang menyelenggarakan upacara tersebut.

Pada acara khitanan anak sasak, maka sebelum acara dilakukan maka keluarga akan membawa anak-anak ke makam-makam nenek moyang untuk minta restu agar berhasil. Pada acara ini mereka akan membawa makanan untuk di makan bersama di sana, dan biasanya membawa ayam yang akan disembelih di sana dengan warna dan jenis kelamin tertentu, biasanya jantan.

Hidangan pada upacara mangan merangkat, yaitu upacara makan pada malam selarian di rumah tempat persembunyian cukup dengan hanya menyajikan. Nasi dengan sebutir telur rebus, ayam panggang dan sayur sondaq. Pada upacara ini kedua calon mempelai makan bersama dalam satu dulang atau talam dengan didampingi oleh anggota kerabat calon mempelai laki-laki. Minumannya cukup dengan air putih yang telah direbus.

Ada sajian yang lebih sederhana dari itu ialah sajian yang berhubungan dengan upacara bait masa. Bait masa berasal dari bahasa Sasak, bait artinya ambil, masa artinya waktu. Bait masa artinya ambil waktu. Maksudnya menetapkan waktu untuk memulai panen. Sajian disebut tontong taus. Secara harfiah artinya sendok langsung. Sajiannya berupa nasi dalam periuk dengan sebutir telur ayam yang direbus di dalamnya.

Suguhan yang paling lengkap dan banyak volumenya pada umumnya ketika upacara-upacara yang berhubungan dengan agama atau kematian. Seperti namatang ketika Mauludan dan upacara peringatan hari ke 7 atau ke 9 dari suatu kematian seseorang.

Walaupun dalam setiap acara akan menyajikan makanan yang berbeda dari segi kualitas dan kuantitasnya tetapi tata cara penyajian dan makannya hampir semuanya sama yaitu dengan cara makan bersama yang disebut sebagai begibung.

Begibung
Tradisi begibung atau megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok.

Begibung merupakan cara makan sebagian besar suku sasak terutama di bagian Lombok Timur pedesaan, baik pada saat makan bersama keluarga maupun dalam acara-acara tertentu. Hanya begibung dalam sehari-hari dan pada acara tertentu memiliki aturan yang berbeda, dimana begibung pada makan sehari-hari nasi ditaruh dalam dulang dan dibagikan sesuai porsi masing-masing, sedangkan pada saat acara tertentu maka nasinya sudah di tempatkan pada piring masing-masing.

Pada jaman dulu, begibung dilakukan di atas nampan yang terbuat dari kayu atau tanah liat, di mana semua bahan makanan di taruh di atasnya dan dimakan secara bersama-sama. Tapi pada jaman sekarang acara begibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain dan bahan makanannya di taruh dalam piring masing-masing. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.

Pada acara-acara tertentu baik upacara adat maupun upacara keagamaan, penyajian makanan memiliki tata cara tertentu. Pada acara tersebut yang boleh memulai makan adalah para Tuan Guru atau Kyai, lalu tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala dusun dan tokoh-tokoh yang lain baru diikuti oleh yang lain. Begitu juga setelah selesai makan, yang boleh mencuci tangan duluan adalah tuan guru baru diikuti yang lain.

Pembagian porsi juga mengikuti aturan di atas, di mana satu sele (satu porsi besar) setiap kelompok dalam masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Porsi terbesar pada tuan guru atau kyai dan paling kecil adalah masyarakat biasanya.Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 2-4 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.



DAFTAR PUSTAKA
Muzaham,Fauzi.(1995) Memperkenalkan sosiologi kesehatan. Jakarta. Universitas Indonesia Press
Foster, G M.& Anderson, BG.(1986) Antropologi Kesehatan. Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono. (1991) Sosiologi suatu pengantar; Edisi ke IV; Jakarta; Rajawali Press;
Umar, Rika; (1986) Makanan wujud, variasi dan fungsi serta cara penyajiannya daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram. Depdikbud.
Megibung, Tradisi Makan Bersama Penuh Aturan Ketat,[Internet]. Bali. Tersedia dalam <www. Bale Bengong.Blog> [diakses tanggal 5 maret 2009].
Suku Sasak [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Sejarah Nusa Tenggara Barat [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Wetu Telu [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Sejarah Pulau Lombok [Internet]. Tersedia dalam :<www. AsiaBlog> [Diacces tanggal 5 maret 2009]