Pages

Rabu, 08 Februari 2012

Budaya Keparat : Kemiskinan dan Keterbelakangan Sasak




Banyak yang menuding, imperalisme berkepanjangan suku bangsa lain telah membuat bangsa sasak sampai hari ini mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Sebenarnya, tidak sepenuhnya benar. Kenyataan penjajahan yang begitu mudah dan lama bercokol itu sendiri menunjukkan bahwa bangsa Sasak memang telah mundur dan terbelakang dalam arti yang sebenarnya di banding kan dengan kaum/bangsa yang datang menjajah semenjak dulu, semenjak tonggak peradaban sasak ini mulai di bangun pada era sasak purba (sasak Lebung).
Tidak ada yang salah dengan bali, jawa atau belanda pada era imperialisme fisik dan politik dulu. Dan tidak juga salah orang yahudi maupun amerika di era imperialisme ekonomi dan politik sekarang ini. Berhentilah mencari kambing hitam atas kenyataan pahit yang di hadapi, dan bangsa sasak harus mulai belajar untuk mengambil resiko dan tanggung jawab sendiri. Dan jika kita mencermati sebuah buku laporan riset panjang Alfons Van Der Kraan seorang warga australia yang di beri judul Sasak : Kemiskinan Dan Keterbelakangan , di mana buku ini sudah dio alih terjemahkan oleh Sahabat saya H. Doni Supanra seorang tokoh philantrhopi di Pulau Lombok/konseptor sekaligus pernah menjabat sebagai Manajer Program di BAZISDA (Lembaga Badan Amil Zakat, Infaq, Shodakoh) Lombok Timur sangat. Dalam buku itu terang benderang menunjukkan praktek-praktek budaya feodalisme patriarkhal menjadi biang keladi utama terhadap terpuruknya peradaban etnis ini sampai detik ini, yaitu diantaranya KRISIS KEPEMIMPINAN.
Sejarah kelam Suku Sasak lombok tak pelak lagi, di kelamkan oleh prilaku para pemimpinnya. Dan dalam pernyataan lain, bahwa sasak tidak memiliki sejarah kepemimpinan yang mumpuni. Para pemimpin era Sasak purba dahulu justru berkonflik di antara sesama dan akhirnya lebih memilih untuk mengundang bangsa lain untuk datang membantu menyelesaikan konflik tersebut, meskipun dengan konsekuensi harus di jajah.
Jika saja, Sasak maju, tentu sejarah akan menulis hal yang berbeda, yaitu sasak menjadi bangsa penjajah yang menginvasi daerah lain. Namun kenyatan memang menunjukkan, bahwa bangsa yang terbelakang dan miskin seperti Sasak, tidak memiliki hasrat ekspansionis. Jadi masalah utama sebelum dan setelah masa penjajahan fisik, kenapa bangsa Sasak miskin dan terbelakang adalah karena masalah inheren bangsa sasak sendiri, yaitu budayanya sendiri.
Hampir seluruh tahapan penting sejarah sasak di warnai oleh konflik para pemimpin dan krisis kepemimpinan :
1. Konflik Kedatuan Pejanggik-Selaparang-Arya Banjar Getas. Yang berujung pada di undangnya dan masuknya imperialisme Kerajaan Karang Asem Bali atas Lombok oleh salah satu pemimpin lombok sendiri. Dan pada akhirnya, Kedatuan Pejanggik sebagai sekutu karang asem setelah 14 tahun penaklukan Selaparang, di hancurkan juga oleh Karang asem sampai ke akar-akarnya. `
2. Imperialisme Belanda masuk ke Pulau Lombok juga tidak lepas dari konflik elit. Di mulai dari konflik kerajaan yang menjadikan lombok sebagai halaman belakangnya/satelit , kerajaan hidnu gelgel Bali dan Kerajaan Islam-Gowa. Dan puncaknya yaitu antar Perwangsa lokal dan Penguasa Bali dari kerajaan Mataram karang asem di Lombok. Sebenarnya Belanda merasa tidak perlu untuk menempatkan pasukanya di Pulau Lombok. Namun, karena beberapa elit Lombok berkirim surat sedikitnya dua kali ke Gubernur Jendral belanda di Batavia untuk membantu mereka mengusir penjajahn bali. Dan fantastis, cukup dengan 150 orang sekelas Polisi, Belanda mampu menguasai Lombok dalam waktu yang lama.
3. Perlawanan orang sasak terhadap imperialisme bali dan Belanda juga tidak pernah menghasilkan perlawanan yang signifikan karena modela kepemimpinan perlawan tersebut yang lokalistik. Ego kedatiuan/Desa sangat mengemuka. Pemimpin lokal tidak pernah bersatu, di sisi lain, ini menjadi ruang terbuka yang empuk bagi politik belah bambu dan adu domba belanda maupun bali.
4. Setelah era otonomi pun demikian. Pada persitiwa pemilihan gubernur yang pada akhirnya memunculkan dan memenangkan Harun al rasyid dari etnis Mbojo-Bima sebagai gubernur NTB, tidak terlepas dari konflik elit Lombok yang berebut kuasa tanpa mengenal kompromi waktu itu.

Budaya Pemicu Krisis Kepemimpinan
Budaya yang di kembangkan oleh suku sasak bukan lahan yang subur untuk membiakkan dan mendidik kepemimpinan.
1. Penek onek kelemak / kencing tadi pagi. Ini adalah ungkapan yang sering di pakai oleh mereka yang merasa lebih tua/di tuakan untuk meredam kritisme atau munculnya tunas muda pemimpin. Bahkan ungkapan ini tidak jarang di bentakkan oleh orang tua terhadap anaknya yang ingin mengutarakan pendapatnya
2. Ngiring ; ikut jadi jamaah. Oleh sebagian kalangan, ungkapan ini di gambarkan sebagai personafikasi dari sifat rendah hati/humble dari orang sasak. Namun, di sisi lain, ungkapan ini juga memberi sinyal kepada kita, bahwa orang Sasak memang tidak siap menjadi pemimpin dan lebih senang menjadi pengikut. Dan celakannya, pengikut yang tidak kritis alias taklid buta (Ke surga ikut, Ke neraka turut yang muncul dari adanya tafsir bias ajaran sami’na wa atho’na kepatuhan tanpa kritisme) sehingga menjerumuskan pemimpinnya sendiri ke dalam jurang kegagalan.
3. Penewok ; Keturunan. Leader are born or leader are made?. Diskursus kedua ini tidak berlaku di dalam budaya masyarakat Sasak. Meskipun era telah berganti dari era batu ke era serat optik. Masyarakat Sasak masih membiakkan sikap feodalisme dalam melihat seorang pemimpin. Jadi tidak heran jika Sebuah desa pimpin oleh satu keluarga tertentu dalam kurun waktu yang lama, karena menurut anggapan orang Sasak, pemimpin akan lahir dari rahim pemimpin juga (Penewok). Sehingga jika ada keturunan amaq icok atau inak serep , meskipun terbukti lebih cerdas akan sulit muncul sebagai pemimpin orang banyak, tersebab, orang banyak ini menganut pandangan penewok tadi. Tentu saja, budaya ini menutup ruang bagi munculnya para pemimpin baru dari kalangan masyarakat awam atau kelas baru.
Budaya penewok ini juga melahirkan klas sosial di dalam masyarakat. Para pemimpin yang lahir dari budaya penewok ini biasanya datang dari kelompok menak/bangsawan atau agamawan/pekerja agama, yaitu orang yang bekerja dan berbisnis di sekitar issue agama.
4. Jurakan ; saling support atau saling menjatuhkan ?. Ada doktrin tentang kepemimpinan yang sering di ajarkan dulu di bangku sekolahan ; Pemimpin yang baik itu adalah yang mampu melahirkan pemimpin –pemimpin baru/kaderisasi kepemimpinan. Tapi kecenderungan umum yang kita lihat di Lombok, mungkin karena pengaruh rezim otoriter orde baru, bukannya menggandeng sang kader sebagai mitra, tapi cenderung memberangus kader-kader muda. Para pemimpin yang sedang berkuasa, memandang kader baru yang visioner sebagai kompetitor yang harus di tekan supaya tidak mengurangi kharisma/wibabwa pemimpin yang sudah ada. Contoh kongkrit yang mungkin setiap waktu kita bisa Saksikan adalah pada kompetisi bisnis kepemimpinan agama. Agamawan Senior yang lebih dahulu eksis dan besar, alih-alih bergembira karena tugas dakwah menjadi ringan dengan munculnya pemimpin agamawan baru, tapi kebalikannya , memandang kemunculan pesantren baru dan agamawan baru sebagai ancaman bagi dominasinya ; akan mengurnagi jumlah jamaahnya, mengurangi kewibawaannya, ,mengurnagi santri di pondoknya dan pada ujungnya mengurangi income dari bisnis agama itu.
Dari konflik elit pemimpin agama ini lalu muncul stigma-stigma serta istilah-istilah yang oleh para jamaah awam hanya di beo saja, tanpa memahmi maknanya seperti ; wahabi, salafi, bukan aswaja atau selain kita semuanya sesat. Dan pada akhirnya , konflik kepentingan bisnis agama para agamawan itu berujung pada konflik fisik horizontal rakyat banyak. Kakak mengkafirkan adik dan halal darahnya untuk di bunuh. Anak memutuskan tali silaturrahmi dengan ibunya, karena beda pemimpin agama tempat mengaji.
Tabek

Rhoma Hidayat