Pages

Selasa, 26 April 2011

Gawe Rapah : Mencontoh Tradisi Demokratis Bangsa Sasak

Bagi masyarakat suku Sasak Lombok, hubungan rakyat dengan pemimpinnya harus dilandaskan pada prinsip sebumbung (menjaga), sewirang (membela) dan sejukung (bersama-sama). Bila rakyat merasa pemerintah telah melaksanakan kebijakan yang keliru, ada sebuah forum tempat mereka leluasa menyampaikan aspirasi dan kritik. Pemimpin wajib mendengar mereka jika tidak ingin mendapat sanksi adat. Menggugat kebijakan pemerintah diluar forum itu sangatlah dihindari.

Sejak ratusan tahun silam Suku Sasak, Lombok, NTB, mengenal tradisi Gawe Rapah. Kata Gawe berarti pertemuan besar atau rapat, sedangkan rapah berasal dari istilah arab (arafah_red) yang berarti kedamaian. Gawe rapah adalah sebuah pertemuan berkala antara pemimpin dengan masyarakatnya dalam rangka mencari solusi atas berbagai persoalan yang ada mulai dari kasus percekcokan antar warga hingga soal kebijakan pemimpin yang dinilai keliru.

“Dari sisi hubungan antara pemimpin dan rakyat, Gawe rapah adalah tempat rakyat mengungkapkan keluh kesah mereka secara blak-blakan dengan bahasa dan sikap yang santun. Di luar Gawe rapah rakyat pantang menyebut-nyebut aib dan kelemahan pemimpinnya,” ungkap Raden Muhammad Rais, salah seorang tokoh adat Sasak, saat ditemui usai penutupan Gawe Rapah  di Gerung, Lombok Barat, NTB, 16 Februari 2011 lalu.

Tradisi Gawe rapah dimulai dengan  berkumpulnya warga di bale rapah. Hadir pula pemimpin banjar (pemimpin setingkat RT), Keliang (Kepala dusun) serta pihak-pihak terkait. Pertemuan tersebut dibagi kedalam beberapa tahap. Tahap pertama dinamakan ngenduh rerasan atau mengeluarkan perasaan. Pada tahap ini, warga diberikan kebebasan mengeluarkan segala macm unek-unek mereka. Pemimpin yang hadir hanya sebagai pendengar.

Tahap selanjutnya adalah gundem atau mencari solusi. Warga masih diberikan keleluasaan menentukan solusi yang tepat atas persoalan mereka. Tahap yang terakhir adalah sangkep atau memutuskan dan menyimpulkan.

Beberapa hal yang harus dipatuhi bagi mereka yang hadir pada Gawe rapah diantaranya tidak boleh menggunakan bahasa dan sikap yang kasar. Kritik terhadap pemimpin dipersilahkan bebas tetapi harus disampaikan dengan santun.  Ketentuan selanjutnya, warga tidak boleh mengungkap kelemahan dan aib pemimpinnya diluar Gawe rapah dengan catatan pemimpin wajib melaksanakan putusan gawe

“Yang main disini adalah komitmen bersama. Masyarakat komit mendukung pemimpinnya, pemimpin juga komit melaksanakan aspirasi rakyatnya. Setelah pertemuan selesai semua kembali ke tugas masing-masing. Rakyat tidak boleh berkoar-koar diluar. Pemimpin juga bersiap melaksanakan tugas sesuai kesepakatan. Semuanya soal komitmen,” ungkap Raden.

Bagi masyarakat sasak, hubungan antara rakyat dan pemimpin tidak diukur secara teknis sederhana soal siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Hubungan keduanya adalah hubungan emosional yang bertanggung jawab dengan rakyat sendiri sebagai aktor tunggalnya. Rakyat diharuskan merang (berani) menyampaikan kritiknya, disisi lain rakyat juga harus tindih kepada pemimpinnya. Baik rakyat dan pemimpin adalah entitas utama terjaminnya kesejahteraan hidup.

Berjalannya kesepakatan pada saat Gawe rapah juga didukung oleh pemberian sanksi adat bagi siapa saja yang melanggar baik warga lebih-lebih pemimpin, mulai dari hukuman ringan hingga berat.

Sanksi adat bagi mereka yang tidak mengindahkan keputusan bersama dimulai dari hukuman ngayah. Pihak terhukum diwajibkan menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan publik baik berupa uang maupun barang. Pada jaman dulu, pihak terhukum disuruh membersihkan jalan umum, pekarangan masjid dan lain-lain. Hukuman yang lain adalah pelilak atau dipermalukan. Oknum warga atau pemimpin kampung yang diketahui telah melanggar hukum akan dipanggil dalam pertemuan atas inisiatif mayoritas warga. Di tempat inilah diumumkan kesalahan-kesalahannya dengan niat agar yang melanggar merasa malu. Hukuman yang tergolong berat adalah peluah atau dikeluarkan dari aktifitas sosial masyarakat. Mereka yang melanggar ketentuan adat tidak diundang saat ada acara gotong royong, zikir, dan semua kegiatan bersama.

“ Sebenarnya ada hukuman yang paling berat yakni dibunuh dengan cara dibuah ke tengah laut dengan kaki digantungkan batu berat. Pelanggar tidak dilukai. Pelanggar juga tidak punya kubur. Ini untuk menghindari balas dendam dari pihak keluarga,” tambah Raden.

Tradisi yang hilang

Tidak jelasnya sistem dan pola hubungan antara masyarakat dan penguasa diyakini sebagai akibat dari tidak dirawatnya semangat Gawe rapah.  Banyak masyarakat yang hanya bisa asal kritik terhadap pemimpinnya, tanpa mempertimbangkan aspek etika dan substansi persoalan. Pemimpinnya pun demikian, nyaris tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan keinginan rakyat.

“  Kita sudah tidak mau belajar dari para leluhur lewat pakem-pakem adat yang mereka gariskan. Kita terlalu banyak mengimpor aturan dari luar yang nyata-nyata tidak sesuai dengan filsafat hidup kita,” ungkap Haji Jalaluddin Az-Zaky, tokoh agama asal Lombok Barat, belum lama ini.

Haji Jalal, begitu beliau dipanggil, juga mengkritik sistem demokrasi yang kini diterapkan di negeri ini.

“ Demonstrasi dengan meneriakkan aib pemerintah yang kadang-kadang tanpa mengetahui duduk persoalannya adalah salah satu keburukan itu. Pemimpinnya juga sudah tidak menjadikan aspirasi rakyat sebagai amanah besar yang harus dilaksanakan,” ungkapnya.
Semangat Gawe rapah setidaknya telah hilang bersama semaraknya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), rapat tahunan dan pertemuan-pertemuan formal yang tidak punya ruh.
Oleh :  Rasinah Abdul Igit (http://www.facebook.com/home.php?sk=group_208412732505306&view=doc&id=213623558650890)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar