Pages

Senin, 11 April 2011

Makanan Dalam Konsep Budaya Sasak

Suku Sasak adalah  suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dengan bahasa sehari-hari  adalah bahasa Sasak. Sebagian besar Suku Sasak beragama Islam Waktu Lima (meminjam istilah Budiwanti),  dan sebagian kecil masih menganut Islam Wetu Telu.

Pada awal abad ke-17, Kerajaan Karangasem dari Bali berhasil menanamkan pengaruhnya di wilayah barat Pulau Lombok dan pada tahun 1750 seluruh wilayah PulauLombok berhasil dikuasai kerajaan Hindu dari Bali itu. Dengan dikuasainya Pulau Lombok oleh Bali, maka orang-orang Bali berdatangan ke Lombok sekaligus membawa serta kebudayaan mereka ke Lombok termasuk dalam kebudayaan makan.
Dengan adanya perpindahan tersebut maka sampai saat ini sebagian kebudayaan Suku sasak merupakan akibat pengaruh dari kebudayaan Bali dengan Islam, termasuk dalam memahami dan melaksanakan kegiatan yang berhungan dengan makanan.

Konsep tentang Makanan
Menurut orang Sasak, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan yang dapat mengenyangkan dan menyenangkan hati. Dilihat dari pengertian itu,  makanan orang Sasak dapat dibedakan menjadi  makanan sehari-hari atau makanan pokok, makanan upacara, dan makanan panganan ( bahasa Sasak : kakenan).

Makanan pokok pada umumnya adalah nasi dan lauk pauk (” jangan dalam bahasa sasak”). Perbandingan antara kedua jenis makanan itu selalu jumlah nasi lebih banyak dari lauk pauknya. Ragam lauk pauk setiap kali makan pada umumnya hanya satu macam ditambah  dengan sayur hijau (jangan kelak) dengan sambal dan garam sebagai perangsang.

Dalam konsep makanan orang Sasak, bahwa yang dapat mengenyangkan dan menggemukkan hanyalah nasi. Lauk pauk dan sayur mayur hanya berfungsi sebagai penyedap dan pelancar. Karena itu susunan menu tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Bagi mereka nasi adalah makanan yang utama. Bila sudah ada nasi, kesehatan dan pertumbuhan orang pasti terjamin. Makan selain nasi dianggap belum makan, sekalipun sampai kenyang.

Orang sasak juga mempercayai kehidupan setelah mati, makhluk gaib dan arwah nenek moyang. Untuk menghormati hal-hal tersebut agar dapat memberikan keselamatan baik bagi yang sudah mati maupun yang masih hidup maka diadakan upacara-upacara tertentu. Dalam setiap upacara-upacara tersebut maka mereka akan menyajikan makanan yang lebih dari pada kebiasaan sehari-hari, terutama kualitas dan kuantitasnya.

Golongan makanan yang ketiga adalah yang disebut oleh orang Sasak dengan kakenan. Kakenan artinya makanan selain nasi. Termasuk ke dalam golongan ini adalah segala jenis jajan, jagung, dan berbagai jenis umbi-umbian yang enak dimakan sebagai nyamikan (camilan).

Sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, maka suku sasak tidak mengkonsumsi makanan makanan tertentu seperti babi, darah, bangkai kecuali ikan dan belalang. Begitu juga makanan yang dianggap hidup di dua alam seperti katak serta makanan yang menjijikkan seperti kelelawar dan ular.

Masyarakat juga masih ada yang pantang terhadap makanan tertentu dengan alasan kesehatan seperti ibu hamil tidak boleh makan nenas, durian karena panas dan berdampak pada bayi yang dikandungnya. Orang patah tulang tidak boleh makan daun paku karena bisa membuat ngilu.

Masih ada juga kepercayaan terhadap makanan tertentu seperti belut dapat menambah darah, daging dapat meningkatkan keperkasaan pada lelaki dan makan garam sebelum makan dapat  menghindari dari gangguan makhluk halus atau orang yang berniat jahat kepada kita.

Menyisakan makanan merupakan hal yang tabu, berarti tidak menghargai karunia Allah yang telah memberikan makanan, oleh karena itu untuk menanamkan hal itu maka anak-anak diajarkan untuk makan sesuai kebutuhannya dan tidak boleh ada sisa. Pada acara-acara keagamaan dan adat maka jika ada sisa maka akan dibawa pulang sebagai berkat.

Prilaku Makan Suku Sasak
Suku sasak sangat menghargai makanan, karena mereka beranggapan bahwa makanan itulah yang membuat mereka tumbuh. Makanan akan menjadi darah dan daging mereka, sehingga mereka akan sangat berhati-hati dalam mencari dan memperlakukan makanan. Nasi tidak boleh diduduki atau dilangkahi sehingga penempatannya sangat diperhatikan.

Makanan yang baik dapat menjernihkan pikiran sedangkan makanan yang haram dapat mendorong manusia pada kesesatan dan kekotoran pikiran. Karena itu mulai dari pembibitannya sampai penyajiannya berupa makanan diusahakan sebaik mungkin agar membawa berkah bagi kehidupan manusia.

Alat untuk memasak nasi disebut periuk. Setelah matang, nasi disendok dari periuk dimasukkan ke dalam rombong atau ponjol atau gadang kemudian disimpan dengan carta menaruh pada suatu gantungan yang disebut lanjaq. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari nasi dari tikus serta menempatkan nasi lebih atas/tinggi agar tidak dilangkahi.

Pada umumnya para wanita atau ibu Sasak mengatur kerja di dapur berakhir bertepatan dengan waktu makan tiba. Pada waktu makan tiba mereka telah siap menyajikan makan siang untuk keluarganya.

Orang Sasak yang pada umumnya petani mengenal 2 kali makan dalam sehari. Makan pagi (ngelemaq)  dan makan sore (ngebian). Meskipun demikian mereka juga mengenal istilah makan pagi (nyenyampah). Tetapi ini bukan kebiasaan umum. Nyenyampah dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya kalau hendak bepergian jauh, sedangkan waktu makan pagi (ngelemaq) belum tiba.

Pada akhir-akhir ini nyenyampah (sarapan pagi) menjadi populer di kalangan anak-anak sekolah di kota  dan orang-orang Sasak yang bekerja sebagai buruh pedagang dan Pegawai negeri. Demikian pula di kalangan kusir cikar (cidomo) dan sopir. Di kalangan petani saraapan juga sudah mulai populer. Hanya di antara mereka terdapat 2 golongan besar dilihat dari bahan sarapan. Petani-petani di desa kebanyakan sarapan dengan ubi, ketela, jagung kadang-kadang ketan sesuai kemampuan masing-masing atu bahkan dengan  secangkir kopi saja.

Bahan-bahan sarapan biasanya telah siap sebelum matahari terbit. Selesai sholat subuh bapak-bapak dan anak laki-laki yang telah dewasa mulai sarapan dengan minum kopi. Sarapan disuguhkan dalam piring ysnjg ditempatkan di talam. Ayah dan anak lelakinya yang telah dewasa duduk menghadapi sarapan untuk makan bersama-sama. Menyantap ubi dan lain-lain berbeda tata caranya dengan makan nasi. Ketika makan sesuatu selain nasi, dapat lebih santai, tidak terikat tradisi.

Orang-orang Sasak yang mampu baik di kota maupun di desa pada umumnya menyediakan nasi dengan lauknya sebagai bahan sarapan pagi. Pagi-pagi sesaat sebelum berangkat ke tempat kerja masing-masing sarapan sudah terhidang di atas meja makan.

Anak-anak yang akan berangkat ke sekolah dapat serapan lebih dahulu dari pada ayahnya yang akan ke kantor. Ibu dan anak-anak yang tidak sekolah  sarapan paling kemudian. Pada hari Minggu atau pada hari libur juga sarapan menurut keperluan yang penting sarapan telah tersedia di atas meja.

Makan siang biasanya dilakukan antara jam 11.00 sampai 14.00, tergantung pekerjaan anggota keluarga. Yang diberi makan pertama adalah anak-anak kecil yang belum bersekolah atau yang masuk siang atau sore. Namun makanan untuk ayah sudah disiapkan dan disisihkan tersendiri. Bila anak-anak sudah selesai baru ayah menyusul. Paling akhir yang makan adalah ibu.

Bagi anak-anak biasanya diberi makan di dapur dengan duduk bersila. Nasi dan lauk pauk mereka masing-masing sebelum makan sudah ditaruh di piring. Waktu makan mereka duduk bersaf berhadap-hadapan. Dapat juga duduk melingkar mengelilingi makanan. Kecuali nasi, lauk pauk dan sayuran sama-sama mengambil dari mangkok yang sama. Di dekat mereka ibu mereka duduk melayani. Ibu menambah nasi atau sayuran mereka jika isi mankok sudah mulai berkurang. Kalau ada ikan atau telur di samping sayuran maka ikan atau telur telah dibagi sama atau tidak sama sekali.

Menyuap nasi juga tidak boleh terlalu banyak. Sedang-sedang saja, supaya nasi dapat dikunyak dengan baik. Temponya juga harus sedang. Tidak boleh terlalu cepat tetapi juga tidak boleh terlalu lambat sehingga menghambat yang lain. Anak yang telah lebih dahulu selesai tidak boleh meninggalkan tempat makan sebelumselesai seluruhnya. Waktu minum mereka juga minum dari kendi yang sama. Ketika mengunya dan menelan tidak boleh sampai kedengaran suaranya. Mengunyah harus dengan mulut tetap terkatup. Suara decapan yang keras dapat menhilangkan berkat. Sari makanan akan lari karena mendengar suara decapan yang keras.

Akibat badan akan menjadi kurus karena memakan nasi yand sudah kehilangan sarimya. Demikian pula selama makan tidak boleh ribut bercakap-cakap, apalagi bermain-main.

Semua anak harus duduk dengan tertib dan khidmat. Mata dan pikiran harus dipusatkan kepada nasi. Nasi yang jatuh harus dipungut dan dimakan. Karena itu dilarang sekali anak-anak membiarkan remah-remah nasi berhamburan di tanah atau di kakinya. Remah-remah yang berceceran harus dipungut dibasuh dan dimakan. Bila tidsak ibu bercerita kepada anak-anaknya bahwa remah-remah yang tidak dipungut akan menangis berbaris pergi mengajak nasi yang masih di dalam tempat nasi.

Orang-orang yang menyia-nyiakan nasipun akan jatuh miskin, jauh rezkinya. Selamanya tidak pernah sejahtra dan berkecukupan makanannya. Ketika semua sudah selesai makan maka meninggalkan tempat makan, alat-alat makan disusun rapi. Tiap-tiap anak mencuci tangannya dalam mangkuk pembasuh tangan yang sama secara bergilir.

Alat-alat makan yang kotor dicuci oleh anak-anak wanita yang sudah remaja atau dewasa. Bila-anak-anak masih kecil semua atau laki-laki semua maka alat-alat bekas makan dicuci oleh ibu. Tata kelakuan makan di atas terus dibina dan ditingkatkan setiap waktu makan sehingga lama-lama menjadi kebiasaan. Kebiasaan makan juga dipraktekan bila makan di tempat lain atau tempat –tempat pesta.

Seseorang laki-laki Sasak yang dewasa bila makan selali manghadapi nasinya dengan duduk bersila. Kecuali kalau di tempat darurat seperti di sawah atau ladang yang becek boleh makan sambil jongkok. Kalau di rumah harus duduk dengan tertib. Di samping karena kebiasaan juga untuk memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya yang masih kecil. Mula-mula tudung saji dibukanya dan diletakan pada tempat yang baik.

Dengan mengucap “Bismillah” garam itu disentuhkan pada ujung lidah maka mulailah dia makan dengan tertib. Setiap suapan nasi diikuti dengan lauk atau sayur. Bergante-ganti dengans ambal atau cabai sabagai perangsang.

Bila menyendok nasi untuk mengimbuh dengan mempergunakan tangan kanan. Sebelum memegang sendok tangan harus dicuci lebih dahulu. Menurut adat tabu menyendok nasi dengan tangan kiri walaupun dengan alasan kepraktisan. Bagi orang Sasak untuk beberapa kegiatan tidak boleh mempergunakan tangan kiri.

Sebabnya karena tangan kiri sering dipergunakan memegang yang kotor terutama untuk bersuci setelah buang air. Demikian pula tangan kiri tidak boleh dipakai untuk menunjuk. Menunjuk dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, merupakan suatu penghinaan bagi yang ditunjuki.

Tata kelakuan makan yang diajarkan kepada anak-anak juga selalu dipraktekkan dengan baik oleh seorang ayah. Maksudnya sebagai tauladan yang praktis. Jika pada waktu memulai makan diawali dengan mencicipi garam, maka setelah selesai makan ditutupi pula dengan mencicipi garam.

Ketika makan biasanya secara bersila di atas selembar tikar seperti cara orang kampong. Secara kebetulan juga semua pegawai yang terdiri dari orang-orang Sasak sekarang adalah orang-orang desa yang karena keberhasilannya dalam pendidikannya mereka menjadi pegawai. Adapt kebiasaannya masih sesuai dengan adapt kebiasaan orang tua di kampung.

Makanan dan Upacara-Upacara
Masyarakat sasak sebagaimana kebudayaan beberapa daerah di Nusantara, juga mengenal berbagai acara selamatan, baik yang dihubungkan dengan agama islam maupun dari sisi budaya semata, antara lain : Upacara kehamilan atau bisok tian (cuci perut) pada 7 bulanan, ngurisan (akikah), sunatan, perkawinan, kematian 1 hari, 3 hari (nelung), 7 hari (mituk), 9 hari (nyangang), 40 hari, 100 hari, tahunan (haul), maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Idul Adha dan lebaran topat.

Pada setiap upacara-upacara tersebut tidak terlepas dari makanan sebagai pelengkap atau bahkan bagian yang utama dari makanan tersebut. Variasinya mulai dari yang paling sederhana berupa nasi dan telur saja sampai dengan variasi yang lengkap, sangat tergantung dari kemapuan ekonomi dan status sosial budaya masyarakat yang menyelenggarakan upacara tersebut.

Pada acara khitanan anak sasak, maka sebelum acara dilakukan maka keluarga akan membawa anak-anak ke makam-makam nenek moyang untuk minta restu agar berhasil. Pada acara ini mereka akan membawa makanan untuk di makan bersama di sana, dan biasanya membawa ayam yang akan disembelih di sana dengan warna dan jenis kelamin tertentu, biasanya jantan.

Hidangan pada upacara mangan merangkat, yaitu upacara makan pada malam selarian di rumah tempat persembunyian cukup dengan hanya menyajikan. Nasi dengan sebutir telur rebus, ayam panggang dan sayur sondaq. Pada upacara ini kedua calon mempelai makan bersama dalam satu dulang atau talam dengan didampingi oleh anggota kerabat calon mempelai laki-laki. Minumannya cukup dengan air putih yang telah direbus.

Ada sajian yang lebih sederhana dari itu ialah sajian yang berhubungan dengan upacara bait masa. Bait masa berasal dari bahasa Sasak, bait artinya ambil, masa artinya waktu. Bait masa artinya ambil waktu. Maksudnya menetapkan waktu untuk memulai panen. Sajian disebut tontong taus. Secara harfiah artinya sendok langsung. Sajiannya berupa nasi dalam periuk dengan sebutir telur ayam yang direbus di dalamnya.

Suguhan yang paling lengkap dan banyak volumenya pada umumnya ketika upacara-upacara yang berhubungan dengan agama atau kematian. Seperti namatang ketika Mauludan dan upacara peringatan hari ke 7 atau ke 9 dari suatu kematian seseorang.

Walaupun dalam setiap acara akan menyajikan makanan yang berbeda dari segi kualitas dan kuantitasnya tetapi tata cara penyajian dan makannya hampir semuanya sama yaitu dengan cara makan bersama yang disebut sebagai begibung.

Begibung
Tradisi begibung atau megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok.

Begibung merupakan cara makan sebagian besar suku sasak terutama di bagian Lombok Timur pedesaan, baik pada saat makan bersama keluarga maupun dalam acara-acara tertentu. Hanya begibung dalam sehari-hari dan pada acara tertentu memiliki aturan yang berbeda, dimana begibung pada makan sehari-hari nasi ditaruh dalam dulang dan dibagikan sesuai porsi masing-masing, sedangkan pada saat acara tertentu maka nasinya sudah di tempatkan pada piring masing-masing.

Pada jaman dulu, begibung dilakukan di atas nampan yang terbuat dari kayu atau tanah liat, di mana semua bahan makanan di taruh di atasnya dan dimakan secara bersama-sama. Tapi pada jaman sekarang acara begibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain dan bahan makanannya di taruh dalam piring masing-masing. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.

Pada acara-acara tertentu baik upacara adat maupun upacara keagamaan, penyajian makanan memiliki tata cara tertentu. Pada acara tersebut yang boleh memulai makan adalah para Tuan Guru atau Kyai, lalu tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala dusun dan tokoh-tokoh yang lain baru diikuti oleh yang lain. Begitu juga setelah selesai makan, yang boleh mencuci tangan duluan adalah tuan guru baru diikuti yang lain.

Pembagian porsi juga mengikuti aturan di atas, di mana satu sele (satu porsi besar) setiap kelompok dalam masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Porsi terbesar pada tuan guru atau kyai dan paling kecil adalah masyarakat biasanya.Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 2-4 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.



DAFTAR PUSTAKA
Muzaham,Fauzi.(1995) Memperkenalkan sosiologi kesehatan. Jakarta. Universitas Indonesia Press
Foster, G M.& Anderson, BG.(1986) Antropologi Kesehatan. Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono. (1991) Sosiologi suatu pengantar; Edisi ke IV; Jakarta; Rajawali Press;
Umar, Rika; (1986) Makanan wujud, variasi dan fungsi serta cara penyajiannya daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram. Depdikbud.
Megibung, Tradisi Makan Bersama Penuh Aturan Ketat,[Internet]. Bali. Tersedia dalam <www. Bale Bengong.Blog> [diakses tanggal 5 maret 2009].
Suku Sasak [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Sejarah Nusa Tenggara Barat [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Wetu Telu [Internet]. Tersedia dalam :<www. Wikipedia> [Diacces tanggal 5 maret 2009].
Sejarah Pulau Lombok [Internet]. Tersedia dalam :<www. AsiaBlog> [Diacces tanggal 5 maret 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar